"Dan janganlah kamu iri hati terhadap karunia yang telah dilebihkan Allah kepada sebagian kamu atas sebagian yang lain. (Karena) bagi laki-laki ada bagian dari apa yang mereka usahakan, dan bagi perempuan (pun) ada bagian dari apa yang mereka usahakan. Mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya. Sungguh, Allah Maha Mengetahui segala sesuatu." (QS. 4: 32)
Pengelolaan kemuslimahan ini berangkat dari alasan optimalisasi segment seperti yang telah dijelaskan sebelumnya. Memang dengan begitu, pelaku kemuslimahan dituntut lebih besar lagi untuk menghadapi tantangan dan memenuhi kebutuhan era baru kemuslimahan ini. Maka pelaku kemuslimahan dituntut untuk mengakselerasi pengembangan dirinya. Ia harus siap menjadi konseptor sekaligus eksekutor, mau berpikir keras, belajar dan berbuat, peka terhadap permasalahan dan isu wanita, mau mengerjakan hal-hal kecil hingga besar, keluar dari zona aman, belajar lebih dalam lagi mengenai Islam dan ideologi yang mengancam keislaman muslimah, berani 'muncul ke permukaan', siap ditokohkan dan mampu berdiri sendiri tanpa menjadikan ikhwan sebagai kekuatan strategisnya.
Karena alasan segmentasi ini pula, pelaku kemuslimahan harus benar-benar menjalankan fungsi yang khas, yang tidak dijalankan di lini dakwah kampus yang lain, bahkan syiar sekalipun. Ia harus berhasil menunjukkan, bahwa memang semua yang ia suguhkan tidak bisa difasilitasi oleh lini yang lain.
Sejalan dengan tuntutan ini, maka keluhan-keluhan tentang stereotype akhwat kemuslimahan selama ini selayaknya tidak perlu terdengar lagi. Terlepas dari tingkat representasi pendapat ini, patutlah diambil pelajaran darinya. Kita harus membuka lembaran baru. Cabiklah lembaran yang bertuliskan "akhwat kemuslimahan pendiam, penurut, tidak mandiri dan tidak berani tampil". Cabiklah dengan semangat memperdalam ilmu, memperbaiki diri dan memenuhi tuntutan dakwah. Terlepas dari bagaimana pun karakter dasar setiap kita, pasti Allah tidak akan membebani kita di luar kesanggupan kita. Umat telah menunggu tabir keislaman itu dihempaskan. Maka ini pun menjadi pertaruhan: apakah Islam pantas dipilih dengan perantara kita yang masih saja terus begini ataukah ideologi lain yang dibawa oleh orang-orang yang mereka anggap lebih meyakinkan mereka?
Semangat ini bukanlah semangat untuk show up, tetapi semangat untuk melakukan yang terbaik dalam memenuhi tuntutan dakwah, layaknya semangat untuk mempersiapkan segala kekuatan untuk berperang.
Optimalisasi ini memang penuh dengan tuntutan, kekuatan dan perbaikan keadaan. Namun, ini bukan emansipasi salah kaprah seperti para feminis menyelewengkan perjuangan Kartini. Walaupun kekuatan ikhwan tidak strategis di sini, meskipun akhwat dituntut untuk tampil, menokohkan diri dan mengambil peran-peran publik (di dunia kewanitaan), namun ini bukan tuntutan untuk menandingi ikhwan. Begitu pula keberadaan Ketua Keputrian (Kaput) atau Kadept Kemuslimahan, tidak untuk menyaingi pengaruh dan kepemimpinan ikhwan dalam LDK atau LDF. Kami (akhwat) menyadari bahwa ada hal-hal yang bisa kami ambil pelajaran dari kelebihan kemampuan ikhwan selama ini, yang semestinya bisa dan boleh kami lakukan untuk kepentingan dakwah.
"Kami disini memohon diusahakan pengajaran dan pendidikan anak-anak perempuan. Bukan sekali-sekali karena kami menginginkan anak-anak perempuan itu menjadi saingan laki-laki dalam perjuangan hidupnya. Tetapi, karena kami yakin akan pengaruhnya yang besar sekali bagi kaum wanita, agar wanita lebih cakap melakukan kewajibannya, kewajiban yang diserahkan alam (sunnatullah) sendiri ke dalam tangannya: menjadi ibu, pendidik manusia yang pertama-tama."
(Surat RA. Kartini kepada Prof Anton dan Nyonya, 4 Oktober 1902)
Pengelolaan kemuslimahan ini berangkat dari alasan optimalisasi segment seperti yang telah dijelaskan sebelumnya. Memang dengan begitu, pelaku kemuslimahan dituntut lebih besar lagi untuk menghadapi tantangan dan memenuhi kebutuhan era baru kemuslimahan ini. Maka pelaku kemuslimahan dituntut untuk mengakselerasi pengembangan dirinya. Ia harus siap menjadi konseptor sekaligus eksekutor, mau berpikir keras, belajar dan berbuat, peka terhadap permasalahan dan isu wanita, mau mengerjakan hal-hal kecil hingga besar, keluar dari zona aman, belajar lebih dalam lagi mengenai Islam dan ideologi yang mengancam keislaman muslimah, berani 'muncul ke permukaan', siap ditokohkan dan mampu berdiri sendiri tanpa menjadikan ikhwan sebagai kekuatan strategisnya.
Karena alasan segmentasi ini pula, pelaku kemuslimahan harus benar-benar menjalankan fungsi yang khas, yang tidak dijalankan di lini dakwah kampus yang lain, bahkan syiar sekalipun. Ia harus berhasil menunjukkan, bahwa memang semua yang ia suguhkan tidak bisa difasilitasi oleh lini yang lain.
Sejalan dengan tuntutan ini, maka keluhan-keluhan tentang stereotype akhwat kemuslimahan selama ini selayaknya tidak perlu terdengar lagi. Terlepas dari tingkat representasi pendapat ini, patutlah diambil pelajaran darinya. Kita harus membuka lembaran baru. Cabiklah lembaran yang bertuliskan "akhwat kemuslimahan pendiam, penurut, tidak mandiri dan tidak berani tampil". Cabiklah dengan semangat memperdalam ilmu, memperbaiki diri dan memenuhi tuntutan dakwah. Terlepas dari bagaimana pun karakter dasar setiap kita, pasti Allah tidak akan membebani kita di luar kesanggupan kita. Umat telah menunggu tabir keislaman itu dihempaskan. Maka ini pun menjadi pertaruhan: apakah Islam pantas dipilih dengan perantara kita yang masih saja terus begini ataukah ideologi lain yang dibawa oleh orang-orang yang mereka anggap lebih meyakinkan mereka?
Semangat ini bukanlah semangat untuk show up, tetapi semangat untuk melakukan yang terbaik dalam memenuhi tuntutan dakwah, layaknya semangat untuk mempersiapkan segala kekuatan untuk berperang.
Optimalisasi ini memang penuh dengan tuntutan, kekuatan dan perbaikan keadaan. Namun, ini bukan emansipasi salah kaprah seperti para feminis menyelewengkan perjuangan Kartini. Walaupun kekuatan ikhwan tidak strategis di sini, meskipun akhwat dituntut untuk tampil, menokohkan diri dan mengambil peran-peran publik (di dunia kewanitaan), namun ini bukan tuntutan untuk menandingi ikhwan. Begitu pula keberadaan Ketua Keputrian (Kaput) atau Kadept Kemuslimahan, tidak untuk menyaingi pengaruh dan kepemimpinan ikhwan dalam LDK atau LDF. Kami (akhwat) menyadari bahwa ada hal-hal yang bisa kami ambil pelajaran dari kelebihan kemampuan ikhwan selama ini, yang semestinya bisa dan boleh kami lakukan untuk kepentingan dakwah.
"Kami disini memohon diusahakan pengajaran dan pendidikan anak-anak perempuan. Bukan sekali-sekali karena kami menginginkan anak-anak perempuan itu menjadi saingan laki-laki dalam perjuangan hidupnya. Tetapi, karena kami yakin akan pengaruhnya yang besar sekali bagi kaum wanita, agar wanita lebih cakap melakukan kewajibannya, kewajiban yang diserahkan alam (sunnatullah) sendiri ke dalam tangannya: menjadi ibu, pendidik manusia yang pertama-tama."
(Surat RA. Kartini kepada Prof Anton dan Nyonya, 4 Oktober 1902)
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !